Kegagalan suatu
masyarakat dalam melakukan langkah penyesuaian dapat menimbulkan disintegrasi
dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Disintegrasi yang
dimaksud dapat berwujud dalam berbagai bentuk, seperti pemberontakan,
demonstrasi, kriminalitas, kenakalan remaja, prostitusi, dan lain sebagainya.
a. Pergolakan di daerah
Negara-negara yang
memiliki wilayah kekuasaan yang luas dengan jumlah penduduk yang majemuk
seperti Indonesia, Uni Sovyet (sekarang Rusia), Yugoslavia, India, Srilanka,
Irlandia, India, Afganistan, dan sebagainya pernah memiliki pengalaman akan
adanya pergolakan di daerah kekuasaannya. Seperti yang kita ketahui bersama,
bahwa Uni Sovyet kini telah hancur akibat glasnost dan perestroika. Bahkan,
beberapa bekas wilayah Uni Sovyet, seperti Tajikistan, Turkmenistan, dan
Kazakhstan kini telah merdeka sebagai negara yang berdaulat. Sementara itu,
Rusia sampai saat ini belum berhasil menuntaskan pemberontakan warga muslim
Chechnya. Beberapa wilayah di semenanjung Balkan kini telah berhasil
memerdekakan diri dari Yugoslavia. Srilanka sampai saat ini masih disibukkan
oleh pemberontakan Macan Tamil. India dan Pakistan masih dalam sengketa
memperdebatkankan wilayah kashmir yang mayoritas berpenduduk muslim. Masih
banyak lagi kejadian-kejadian serupa yang menimpa berbagai negara di dunia.
Indonesia, dengan
wilayah yang sangat luas dan terdiri atas ribuan pulau, dengan kondisi penduduk
yang sangat majemuk sudah barang tentu tidak dapat lepas dari problem
pergolakan di daerah. Pergolakan-pergolakan yang terjadi di beberapa wilayah,
seperti di Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-nya, di Irianjaya (sekarang
Papua) dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM)-nya, di Maluku dengan Republik
Maluku Selatan (RMS)-nya, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pergolakan
yang telah terjadi sejak zaman Orde Lama.
Seperti yang
diketahui bahwa sejak proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia sampai
sekarang terdapat beberapa pergolakan yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pemberontakan
PKI-Madiun
Pemberontakan
PKI-Madiun yang dipimpin oleh Moeso, Amir Syarifuddin, dan beberapa tokoh PKI
lainnya ditandai dengan diproklamasikannya Negara Sovyet Republik Indonesia di
Madiun pada tanggal 18 September 1948. Pemberontakan PKI-Madiun lebih didorong
oleh keinginan segelintir orang Indonesia yang berhaluan sosialis-komunis untuk
mendirikan negara yang berdasarkan atas ideologi komunis. Dalam waktu 12 hari,
pemberontakan PKI-Madiun berhasil ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia
(TNI).
2. Gerakan DI/TII
Selain karena
adanya perbedaan ideologis, yakni ingin mendirikan negara Indonesia yang
berdasarkan atas ajaran agama Islam, gerakan DI/TII juga dipicu oleh kekecewaan
didorong oleh keinginan segelintir orang Indonesia yang berhaluan
sosialis-komunis untuk mendirikan negara yang berdasarkan atas ideologi
komunis. Dalam waktu 12 hari, pem-berontakan PKI-Madiun berhasil ditumpas oleh
Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Selain karena
adanya perbedaan ideologis, yakni ingin mendirikan negara Indonesia yang
berdasarkan atas ajaran agama Islam, gerakan DI/TII juga dipicu oleh kekecewaan
terhadap isi perjanjian Renville yang dipandang sangat merugikan pihak RI.
Sebagaimana yang diketahui, pasukan Hisbullah dan Sabilillah yang dipimpin oleh
Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tidak bersedia meninggalkan wilayah Jawa
Barat bersama-sama dengan pasukan Divisi Siliwangi lainnya. Bahkan pada tanggal
7 Agustus 1949, Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya
Negara Islam Indonesia (NII) yang berpusat di Malangbong, Tasikmalaya, Jawa
Barat. Pengaruh Gerakan DI/TII meluas di berbagai daerah di Indonesia seperti
di daerah Kebumen (Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fattah dan Kyai Mohammad
Mahfudz Abdurrahman, di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar, di
Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakar, dan di Aceh yang dipimpin
oleh Daud Beureuh.
3. Pemberontakan
Andi Azis
Pemberontakan Andi
Azis dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mempertahankan kedudukan Negara
Indonesia Timur yang dibentuk oleh Belanda. Pemberontakan tersebut dilancarkan
sekitar bulan April 1950 melalui perlawanan bersenjata dan sekaligus
mengeluarkan pernyataan-pernyataan melalui surat kabar. Adapun isi pernyataan
tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Negara
Indonesia Timur (NIT) harus dipertahankan supaya tetap berdiri,
(2) pasukan KNIL
yang telah masuk APRIS sajalah yang bertanggung jawab atas keamanan daerah NIT,
dan 93) Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Hatta hendaknya tidak menghalangi
tetap berdirinya NIT dengan cara kekerasan.
4. Republik Maluku
Selatan (RMS)
Republik Maluku
Selatan (RMS) merupakan sebuah negara yang dicita-citakan oleh Dr. Soumokil
(bekas Jaksa Agung NIT). Dengan demikian RMS merupakan sebuah gerakan separatis
yang ingin memisahkan diri dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
Gerakan RMS dapat ditumpas oleh pasukan TNI sekitar bulan Desember 1963.
5. Peristiwa
PRRI/Permesta
Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) merupakan
sebuah gerakan separatis yang diawali dengan berdirinya dewan-dewan di berbagai
daerah, yakni Dewan Gajah yang berdiri pada tanggal 20 Desember 1956 di Medan
dipimpin oleh Letkol M. Simbolon, Dewan Banteng yang berdiri pada tanggal 22
Desember 1956 di Padang dipimpin oleh Letkol Achmad Husein, Dewan Lambung
Mangkurat yang didirikan oleh Letkol Vantje Sumual di Kalimantan Selatan.
Keberadaan dewan-dewan tersebut diperkuat dengan adanya Perjuangan Rakyat
Semesta (Permesta) yang dideklarasikan di Makasar pada tanggal 2 Maret 1957.
Dewan-dewan tersebut menjadi cikal bakal diproklamasikannya Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 17 Pebruari 1958 dengan Mr.
Syafrudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya.
Memperhatikan
berbagai pergolakan di berbagai daerah di Indonesia sebagaimana yang disebutkan
di atas, Koentjaraningrat menyebutkan adanya beberapa sebab, yaitu:
(1) terjadinya masa transisi dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menuju
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1951,
(2) adanya demobilisasi kelompok-kelompok gerilya Indonesia dan adanya
bekas-bekas tentara Belanda (KNIL),
(3) adanya revolusi yang dilakukan untuk menggantikan ideologi Pancasila,
seperti Pemberontakan PKI-Madiun dan DI/TII, dan
(4) terlalu tersentralisasinya perekonomian Indonesia selama sepuluh tahun
pertama sejak Indonesia merdeka.
b. Demonstrasi
Berbagai media
massa belakangan ini sering menayangkan aksi demonstrasi. Pada dasarnya
demonstrasi merupakan kegiatan unjuk rasa dari sekelompok orang yang
terorganisir untuk menyatakan ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap kebijakan
suatu pimpinan atau suatu rezim pemerintahan, baik kebijakan yang telah maupun
yang sedang dilaksanakan.
Lazimnya,
demonstrasi dilaksanakan oleh sekelompok orang yang beranggapan bahwa di dalam
kehidupan masyarakat terdapat kesenjangan antara sesuatu yang diinginkan dengan
kenyataan yang terjadi, baik yang menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, agama, pendidikan, dan lain sebagainya.
Kaum buruh
melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah kerja Demonstrasi merupakan suatu
cara yang ditempuh oleh masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan
tertentu. Demonstrasi tersebut dilaksanakan manakala masyarakat tidak memiliki
cara lain untuk mencari solusi dari permasalahan yang berkembang melainkan
melalui demonstrasi. Misalnya, berbagai musyawarah yang ditempuh hanya menemui
jalan buntu. Perlu diketahui bahwa demonstrasi tidak sama artinya dengan
perbuatan vandalisme, anarkhisme, atau brutalisme. Penyampaian tuntutan dan
aspirasi dalam demonstrasi dilaksanakan dengan menggunakan berbagai cara
seperti meneriakkan yel-yel, membuat poster-poster, pembacaan puisi,
menyanyikan lagu-lagu tertentu, membuat slogan-slogan, membuat pernyataan
tertulis, dan lain sebagainya. Namun, demonstrasi akan berubah menjadi
vandalisme, anarkhisme, dan brutalisme mana kala para demonstran mulai
meneriakkan sumpah serapah yang berupa umpatan-umpatan atau caci maki yang
memancing emosi massa, baik masyarakat umum maupun petugas keamanan.
Petugas keamanan
dituntut dapat menggunakan akal sehat dan kepala dingin dalam menghadapi para
demonstran Sumber: www.tempointeraktif.com Petugas keamanan dituntut dapat
menggunakan akal sehat dan kepala dingin dalam menghadapi para demonstran
Demonstrasi memang memiliki dampak positif, yakni merupakan suatu bentuk
tekanan (pressure) dan sekaligus merupakan suatu alat pengendali sosial (Sosial
control) yang efektif.
Namun demikian,
selama masih ada cara lain yang dapat ditempuh, sedapat mungkin aksi demonstrasi
dihindari. Sikap tersebut diperlukan mengingat aksi demonstrasi yang
mengerahkan kekuatan massa sering menciptakan gangguan-gangguan dalam kehidupan
masyarakat, seperti kemacetan lalu lintas, kebisingan, polusi suara, dan lain
sebagainya. Demonstrasi juga dapat menimbulkan keretakan dalam
hubungan-hubungan sosial, terutama antara pihak demonstran dengan pihak yang
didemo sebagai akibat dari sikap pro dan kontra yang berkembang antara kedua
belah pihak.
Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia tidak terlepas dari aksi demonstrasi.
Aksi-aksi demonstrasi tersebut dapat diperhatikan antara lain: (1) pada periode
tahun 60-an, yakni ketika rakyat dan mahasiswa melancarkan aksi Tritura, (2)
pada periode tahun 80-an, yakni ketika sebagian masyarakat Indonesia
melancarkan aksi penolakan terhadap masuknya produk-produk asing, dan (3)
aksi-aksi yang dilancarkan oleh masyarakat Indonesia sepanjang pertengahan
tahun 1999 sampai sekarang untuk menuntut penyelenggaraan pemerintahan negara
yang bersih dan bertanggung jawab. Aksi-aksi lainnya seperti aksi kaum buruh
kepada majikannya, aksi masyarakat kepada kinerja dewan yang dianggap tidak
memuaskan, dan lain sebagainya.
c. Kriminalitas
Kriminalitas
merupakan perilaku kejahatan yang terjadi dan sekaligus sangat meresahkan
kehidupan masyarakat. Banyak sekali faktor yang mendorong terjadinya
kriminalitas atau kejahatan sosial. Dalam hal ini, E.H. Sutherland berpandangan
bahwa kriminalitas atau kejahatan merupakan hasil dari proses-proses dalam kehidupan
masyarakat seperti imitasi, identifikasi, pembentukan konsep diri
(self-conception), pelaksanaan peranan sosial, asosiasi diferensial, maupun
kekecewaan-kekecewaan yang agresif. Dengan demikian kriminalitas atau kejahatan
terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang atau sekelompok orang dengan
seseorang atau sekelompok orang yang berperilaku menyimpang.
Pemicu kriminalitas
atau kejahatan sosial adalah adanya tekanan-tekanan mental, baik yang bersifat
ekonomi maupun sosial yang memberikan beban psikologis yang berat.
Dari sekian banyak
bentuk kriminalitas yang ada, white-collar crime (kejahatan kerah putih) yakni
aksi-aksi kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa maupun para pengusaha
ketika menjalankan peran sosialnya. Sesuai dengan status sosial yang disandang,
para pelaku white-collar crime (kejahatan kerah putih) merupakan orang yang
memegang posisi dan kedudukan yang sangat kuat, baik dalam bidang ekonomi
maupun dalam bidang politik. Para pelaku white-collar crime (kejahatan kerah
putih) tersebut seolah-olah tidak takut terhadap hukum karena hukum dapat
dibeli dengan uang dan kekuasaan yang dimilikinya.
Dari sekian banyak
bentuk kriminalitas yang ada, white-collar crime (kejahatan kerah putih) yakni
aksi-aksi kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa maupun para pengusaha
ketika menjalankan peran sosialnya. Sesuai dengan status sosial yang disandang,
para pelaku white-collar crime (kejahatan kerah putih) merupakan orang yang
memegang posisi dan kedudukan yang sangat kuat, baik dalam bidang ekonomi
maupun dalam bidang politik. Para pelaku white-collar crime (kejahatan kerah
putih) tersebut seolah-olah tidak takut terhadap hukum karena hukum dapat
dibeli dengan uang dan kekuasaan yang dimilikinya.
Berbeda dengan para
pelaku kejahatan lain yang pada umumnya tertekan secara ekonomi, para pelaku
white-collar crime (kejahatan kerah putih) pada umumnya memiliki latar belakang
ekonomi yang mapan. Keadaan tersebut memungkinkan terjadinya sikap pemanjaan
dalam pola asuh sehingga berkembang pribadi yang sulit mengendalikan keinginan
sehubungan dengan lemahnya prinsip moral yang diajarkan. Bentuk-bentuk
white-collar crime (kejahatan kerah putih) adalah korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Kejahatan-kejahatan serupa itulah yang saat ini sedang melanda kehidupan
bangsa Indonesia.
d. Kenakalan Remaja
Dalam kehidupan
bermasyarakat terlihat bahwa kenakalan remaja dapat terjadi di kalangan
masyarakat kaya maupun di kalangan masyarakat miskin. Kenakalan remaja juga
dapat terjadi dalam kehidupan masyarakat pedesaan maupun dalam kehidupan
masyarakat perkotaan. Pada umumnya kenakalan remaja tersebut dapat terjadi
karena beberapa hal, seperti: (1) penanaman sistem nilai dan sistem norma
(sense of value) yang lemah, (2) berkembangnya organisasi-organisasi nonformal
yang berperilaku menyimpang sehingga tidak diinginkan dalam kehidupan
masyarakat, dan (3) adanya keinginan untuk mengubah keadaan disesuaikan dengan
perkembangan-perkembangan baru (youth values).
Secara psikologis
usia remaja merupakan usia di mana para remaja sedang mencari identitas diri.
Dengan demikian, secara kejiwaan para remaja berada dalam kondisi yang labil,
dalam arti, para remaja belum menemukan jati diri kepribadiannya secara mantap.
Di sinilah arti penting pendidikan sebagai usaha untuk membimbing manusia
menuju kedewasaan, yakni menuju penemuan jati diri sebagai manusia.
Menurut pengamatan,
pada masyarakat pedesaan, terutama yang terjadi pada keluarga-keluarga miskin,
kenakalan remaja yang terjadi setidaknya disebabkan oleh tiga faktor, yaitu:
(1) keberhasilan pemerintah dalam pembangunan telah membawa konsekuensi logis
pada derasnya arus informasi, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari
luar negeri, baik yang bersifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif,
sedangkan para remaja belum memiliki kepribadian yang mantap,
(2) kondisi keluarga yang serba kekurangan telah mendorong para remaja untuk
mencari kegiatan-kegiatan alternatif yang dianggap mengasyikkan tetapi
sekaligus sangat menjerumuskan kepribadian mereka., dan
(3) banyaknya keluarga-keluarga pedesaan yang merantau ke perkotaan
(urbanisasi) sehingga membawa konsekuensi logis pada kurangnya pengawasan dan
sekaligus kurangnya pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan keluarga.
Adapun kenakalan
remaja yang terjadi pada masyarakat perkotaan, terutama pada keluarga-keluarga kaya,
persoalannya terletak pada kesibukan orang tua yang terlalu bersemangat dalam
meniti karier, baik dalam organisasi, pekerjaan, maupun bisnis sehingga kurang
ada kesempatan untuk memperhatikan perkembangan anak-anak mereka. Kondisi
keluarga seperti itu pada umumnya memberikan kepuasan secara material kepada
anak-anak mereka, sedangkan kenyamanan psikologis tidak diberikan secara layak.
Keadaan seperti inilah yang menyebabkan para remaja di perkotaan mengalami kejenuhan
sehingga mencari pelampiasan untuk membunuh rasa jenuh dengan menggunakan
segala macam fasilitas material yang diberikan oleh orang tua mereka
Kondisi keluarga
seperti itu pada umumnya memberikan kepuasan secara material kepada anak-anak
mereka, sedangkan kenyamanan psikologis tidak diberikan secara layak. Keadaan
seperti inilah yang menyebabkan para remaja di perkotaan mengalami kejenuhan
sehingga mencari pelampiasan untuk membunuh rasa jenuh dengan menggunakan
segala macam fasilitas material yang diberikan oleh orang tua mereka.
Bentuk-bentuk
kenakalan remaja pada umumnya berbentuk perkumpulan-perkumpulan remaja yang
suka bikin onar yang berupa cross-boy/cross-girl. Adapun beberapa kegiatan yang
terjadi sehubungan dengan kenakalan remaja tersebut di antaranya adalah
pencurian, pencopetan, penganiayaan, penodongan, pornografi yang dilanjutkan
dengan perbuatan asusila, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pelanggaran
tata tertib lalu lintas, dan lain sebagainya.
e. Prostitusi
Istilah prostitusi,
atau lebih populer dengan istilah pelacuran, merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dengan cara menawarkan dirinya kepada masyarakat umum
untuk melakukan aktivitas seksual di luar nikah dengan imbalan berupa upah
sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Prostitusi atau pelacuran merupakan
salah satu bentuk perbuatan asusila karena berlawanan dengan norma agama, norma
hukum, dan norma adat.
Namun demikian,
tidak sedikit masyarakat, baik yang berasal dari keluarga kaya maupun dari
kalangan keluarga miskin, yang terjerumus dalam kegiatan asusila tersebut.
Sehubungan dengan masalah tersebut, Soerjono Soekanto memberikan penjelasan
adanya dua hal yang menyebabkan terjadinya prostitusi dalam kehidupan
masyarakat, yaitu:
1. Faktor internal, yakni faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pelaku
prostitusi (pelacur) tersebut, seperti dorongan seksual yang tinggi, sifat
malas untuk bekerja, dan keinginan untuk menikmati kemewahan dunia (hedonisme),
dan lain sebagainya.
2. Faktor eksternal, yakni faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelaku
prostitusi (pelacur) tersebut, seperti kondisi ekonomi yang memprihatinkan,
kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat, kegiatan urbanisasi yang tidak
terkendali, dan lain sebagainya.
Dewasa ini
prostitusi (pelacuran) berkembang menjadi masalah nasional. Bahkan, di berbagai
daerah, seperti di kota Surabaya, Jakarta, Bandung, dan lain sebagainya para
pelaku prostitusi (pelacur) telah mengorganisasikan kelompok mereka untuk
melakukan aksi demonstrasi menentang peraturan-peraturan yang sengaja
diciptakan untuk menertibkan kehidupan mereka.
Dengan demikian, para pelaku asusila tersebut secara terang-terangan minta keberadaan mereka diakui secara syah oleh pemerintah. Keadaan tersebut merupakan suatu ironi dan sekaligus merupakan masalah kemanusiaan yang harus mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, para pelaku asusila tersebut secara terang-terangan minta keberadaan mereka diakui secara syah oleh pemerintah. Keadaan tersebut merupakan suatu ironi dan sekaligus merupakan masalah kemanusiaan yang harus mendapat perhatian sebagaimana mestinya.