Sikap Golongan Tua dan Golongan Muda pada Peristiwa Rengasdengklok

Peristiwa Rengasdengklok terjadi karena perbedaan pandangan antara kelompok-kelompok tua dengan kelompok muda tentang kapan proklamasi kemerdekaan dilaksanakan.

Perbedaan terjadi karena setelah mengetahui kekalahan Jepang dari Sekutu.

1. Sikap golongan tua

Disebut Golongan tua karena usianya antara 45-50 tahun. Golongan tua ini selalu bersikap hati-hati dan tetap pada pendiriannya pada perjanjiannya dengan Terauchi yaitu setelah rapat PPKI (18 Agustus 1945) tepatnya tanggal 24 Agustus 1945. Golongan tua tidak berani melanggar ketentuan itu karena khawatir akan adanya pertumpahan darah. Meskipun Jepang telah kalah, namun kekuatan militernya yang ada di Indonesia masih amat kuat.

2. Sikap golongan muda

Golongan muda karena usianya rata-rata sekitar 25 tahun. Golongan muda ini bersikap radikal/penuh emosional dan menghendaki secepatnya diumumkan proklamasi kemerdekaan, paling lambat tanggal 16 Agustus 1945.

Pengamanan Sukarno-Hatta di Rengasdengklok

Sementera itu, Sutan Syahrir seorang yang selalu mewakili dan berhubungan dengan para pemuda merasa gelisah karena telah mendengar berita kekalahan Jepang dari Sekutu melalui radio Amerika. Setelah mendengar kepulangan Sukarno-Hatta-Rajiman Wedyodiningrat dari Dalath/Saigon/Ho Chi Minh, maka Syahrir segera datang ke rumah Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa harus menunggu dari Pemerintah Jepang. Untuk tidak mengecewakan, maka Hatta mengajak ke rumah Sukarno. Oleh Hatta dijelaskan maksud kedatangannya bersama Sutan Syahrir, tetapi Sukarno belum dapat menerima usul Sutan Syahrir tersebut. Sukarno memberi alasan bersedia memberi proklamasi, jika telah bertemu dengan anggota PPKI lainnya.

Sutan Syahrir kemudian pergi ke Menteng Raya, Jakarta (markas para pemuda), dan di sana ia bertemu dengan para pemuda, diantaranya Sukarni, BM Diah, Sayuti Melik, dan sebagainya. Sutan Syahrir kemudian menyampaikan laporannya kepada para pemuda, bahwa dirinya telah bertemu dengan Sukarno. Para pemuda kemudian mengadakan rapat di salah satu ruangan di Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur, Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1945 pada pukul 20.00 WIB. Rapat dipimpin oleh Chairul Saleh, dan dihadiri oleh Johar Nur, Kusnandar, Subadio, Margono, Wikana, dan Alamsyah.

Keputusan rapat menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hal dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak bergantung kepada orang dan negara lain. Kemudian untuk mendesak kepada Sukarno supaya bersedia melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia secepatnya, tanpa menunggu hasil sidang PPKI. Para pemuda mengutus Wikana dan Darwis untuk menemui Sukarno di kediaman Sukarno Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 22.00 WIB. Hasil pertemuan: Sukarno belum bersedia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa PPKI. Karena tidak mencapai kata sepakat, kalangan pemuda bermaksud mengamankan Sukarno-Hatta ke luar Jakarta.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 tengah malam, para pemuda mengadakan rapat di Asrama Baperpi, Cikini Jakarta, dihadiri oleh Sukarni, Yusuf Kunto, dr. Muwardi, Shodanco Singgih, Chairul Saleh. Rapat memutuskan untuk mengamankan Sukarno-Hatta ke luar Jakarta, dengan pertimbangan supaya Sukarno-Hatta terlepas dari pengaruh Jepang, sehingga mereka berani memproklamirkan kemerdekaan sendiri sesuai dengan kemauan para pemuda.

Tempat yang dipilih untuk mengamankan Sukarno-Hatta adalah Rengasdengklok (kota kecil dekat Karawang) terletak 15 km dari jalan raya Jakarta-Cirebon. Pertimbangan dipilihnya Rengasdengklok ialah Daidan (setingkat batalyon) PETA Jakarta dan Rengasdengklok sering berlatih bersama. Dengan demikian, setiap gerakan pasukan Jepang ke Rengasdengklok dapat cepat diketahui dan dihadang oleh kekuatan militer PETA.

Jalannya peristiwa Rengasdengklok adalah:

a.   Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00 WIB dini hari, Sukarno-Hatta dibawa ke Rengasdengklok oleh Shodanco Singgih dari Daidan PETA Jakarta. Kemudian dibawa ke asrama PETA Rengasdengklok.
b.   Para pemuda mendesak kembali Sukarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan tanpa pengaruh dari Jepang. Sukarno-Hatta tetap pada pendiriannya.
c.   Shodanco Singgih, setelah berbicara secara pribadi dengan Sukarno menyimpulkan, bahwa pemimpin itu bersedia memproklamirkan kemerdekaan setelah kembali ke Jakarta. Kemudian Shodanco Singgih segera kembali ke Jakarta, untuk menyampaikan kesediaan Sukarno kepada para pemuda.
d.   Di Jakarta terjadi kesepakatan antara golongan tua yang diwakili oleh Ahmad Subarjo (seorang yang dekat dengan golongan tua maupun muda, serta sebagai penghubung dengan pemuka angkatan laut Jepang Laksamana Muda Tadashi Maeda), dengan golongan muda yang diwakili oleh Wikana. Kesepakatan tersebut berupa akan dilaksanakannya proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebelum pukul 12.00 WIB.
e.   Atas dasar kesepakatan tersebut, Ahmad Subarjo yang didampingi oleh Sudiro dan Yusuf Kunto berangkat ke Rengasdengklok pukul 17.30 WIB untuk menjemput Sukarno-Hatta, serta meyakinkan kepada Sukarno-Hatta bahwa Jepang sudah menyerah kepada Sekutu.
f.    Ahmad Subarjo meyakinkan kepada golongan pemuda untuk melepaskan Sukarno-Hatta dengan jaminan kesepakatan perjanjian di Jakarta sebelumnya. Kemudian Shodanco kembali ke Jakarta. Selain itu ikut pula Fatmawati dan Guntur Sukarno Putra.